Luwu, Sulawesi Selatan – Aksi pemblokiran jalan kembali terjadi di Kecamatan Bajo Barat, Kabupaten Luwu. Warga Desa Mardinding menutup akses utama pada Jumat, 19 September 2025, sebagai bentuk protes terhadap PT Masmindo Dwi Area (MDA) dan mitra kontraktornya. Tuntutan utama mereka sederhana namun krusial: keterlibatan nyata tenaga kerja lokal dalam proyek pertambangan emas Awak Mas.
Pemblokiran jalan ini bukan yang pertama kali. Warga mengaku sudah berulang kali menyuarakan aspirasi serupa dalam forum resmi, mulai dari musyawarah desa, pertemuan dengan pemerintah kabupaten, hingga dialog bersama perusahaan. Namun, realisasi perekrutan tenaga lokal dinilai masih minim.
“Sejak awal kami berharap perusahaan bisa membuka peluang sebesar-besarnya bagi pemuda dan tenaga kerja di sekitar tambang. Tapi kenyataannya, yang diterima justru dari luar daerah,” ungkap seorang tokoh pemuda setempat.
Kekecewaan inilah yang akhirnya memicu warga menggunakan jalur terakhir: menutup jalan poros yang menjadi urat nadi transportasi.
Pemerintah Kabupaten Luwu melalui Pokja Percepatan Investasi mencoba meredam ketegangan. Kepala Pokja, Sofyan Tamrin, menyatakan pihaknya akan mempertegas mekanisme perekrutan tenaga kerja agar lebih transparan dan berkeadilan.
“Semua aspirasi masyarakat harus tertampung dalam satu pintu komunikasi. Jangan sampai ada informasi simpang siur antara perusahaan, kontraktor, dan warga,” jelasnya.
Meski begitu, posisi pemerintah kerap dipandang serba sulit: di satu sisi mendukung investasi strategis pertambangan, di sisi lain harus memastikan dampak sosial tidak memicu konflik berkepanjangan.
Direktur MDA, Erlangga Gaffar, menegaskan bahwa perusahaan telah menetapkan sistem perekrutan tunggal. Artinya, seluruh kontraktor dan subkontraktor wajib mengajukan kebutuhan tenaga kerja melalui jalur resmi yang sudah ditentukan.
“Kami sudah membuat peta sebaran karyawan, untuk memastikan keterlibatan masyarakat lokal benar-benar terukur dan terpantau,” katanya.
Namun, di lapangan, implementasi sistem tersebut masih dipertanyakan. Warga menilai praktik di bawah kerap berbeda dengan kebijakan yang disampaikan di atas.
Selain persoalan perekrutan, warga juga mengangkat masalah infrastruktur. Jalan-jalan yang menjadi akses vital—baik jalur logistik tambang maupun jalur masyarakat—dinilai mengalami kerusakan akibat intensitas lalu lintas kendaraan berat perusahaan.
“Kalau hanya untuk kepentingan tambang, jalannya diperbaiki. Tapi ketika warga yang menggunakan, jalan dibiarkan rusak,” ujar salah satu warga yang ikut dalam aksi.
Pemerintah dan perusahaan sama-sama menegaskan perbaikan jalan menjadi bagian dari komitmen bersama. Tetapi, masyarakat meminta langkah konkret, bukan sekadar janji.
Pemblokiran jalan di Bajo Barat menjadi potret klasik ketegangan antara investasi skala besar dan aspirasi masyarakat lokal. Masyarakat menuntut hak untuk tidak sekadar menjadi penonton di tanah mereka sendiri.
Dialog terbuka yang melibatkan tokoh adat, pemerintah, perusahaan, dan masyarakat akan menjadi ujian: apakah semua pihak mampu merumuskan jalan tengah yang adil, atau konflik serupa akan kembali terulang.